MKcFF1HGV2DPvVbWNgdht7btX7dQr3BVPEQS9h6n

Pramodawardhani dan Rakai Pikatan: Warisan Candi Borobudur dan Prambanan

Ilustrasi Pramodawardhani dan Rakai Pikatan di depan Candi Borobudur dan Prambanan menggambarkan cinta lintas agama dan warisan budaya Jawa kuno

Pernah ada sebuah masa di tanah Jawa ketika kuil-kuil megah menjulang tinggi, dan toleransi antaragama mencapai puncak keemasannya. Inilah kisah tentang sebuah kerajaan besar, cinta lintas keyakinan, dan warisan budaya agung seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, serta kuil-kuil monumental lain yang hingga kini tetap menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Awal Sejarah Ketika Takhta Dipertaruhkan

Menurut catatan sejarah pada tahun 840 Masehi, di jantung Mataram Kuno, Raja Samaratungga sang pemimpin kelima Kerajaan Medang yang mengambil keputusan mengejutkan. Ia mengundurkan diri setelah 43 tahun memimpin, dan menyerahkan takhta kepada putrinya, Pramodawardhani. Keputusan ini mengguncang istana. Tak semua pihak setuju.

Saudaranya, Balaputradewa, merasa lebih berhak atas takhta. Ia pun mengerahkan pasukan dan membangun benteng di atas bukit sebagai persiapan pemberontakan. Perang saudara pun pecah. Pramodawardhani, didampingi suaminya, Rakai Pikatan, menghadapi perlawanan sengit dari Balaputradewa. Akhirnya, Balaputradewa kalah dan melarikan diri ke Sumatra, di mana ia kelak menjadi Raja Sriwijaya.

Perdebatan Sejarah, Siapa Sebenarnya Balaputradewa?

Teori populer dari J.G De Casparis, seorang epigraf Belanda, menyebut bahwa Samaratungga dan Samaragrawira adalah orang yang sama, sehingga Pramodawardhani dan Balaputradewa adalah saudara kandung. Teori ini berdasarkan prasasti Wantil (856 M) yang menyebut "Walaputra" menurutnya adalah nama lain Balaputradewa yang bertempur melawan Rakai Pikatan.

Namun, sejarawan Indonesia seperti Slamet Muljana dan Boechari memiliki pandangan berbeda. Dalam prasasti Kayumwungan (824 M), Pramodawardhani tercatat sebagai satu-satunya anak Samaratungga. Artinya, Samaragrawira lebih tepat disebut sebagai ayah Samaratungga, dan Balaputradewa adalah adik Samaratungga, alias paman dari Pramodawardhani.

Boechari bahkan menemukan bahwa nama musuh dalam prasasti Wantil bukanlah Balaputradewa, melainkan "Rakai Walaing" seorang keturunan Sanjaya yang menantang Rakai Pikatan. Sedangkan "Walaputra" dalam prasasti kemungkinan merujuk pada Rakai Kayuwangi, putra bungsu Rakai Pikatan, bukan Balaputradewa.

Jadi, bisa jadi Balaputradewa meninggalkan Jawa bukan karena kalah perang, melainkan karena memang tidak memiliki hak atas takhta Jawa.

Jejak Syailendra di Sumatra: Balaputradewa dan Sriwijaya

Balaputradewa kemudian dikenal sebagai raja besar di Sriwijaya. Prasasti Ligor (775 M) menyebut Maharaja Wishnu dari dinasti Syailendra yang dijuluki sebagai "pembunuh musuh". Ini memperkuat dugaan bahwa ada hubungan erat, bahkan mungkin dominasi, dinasti Syailendra atas Sriwijaya.

Pada tahun 860 Masehi, prasasti Nalanda di India mencatat bahwa Balaputradewa telah menjadi raja Sriwijaya. Ini menyiratkan bahwa seperti Samaratungga di Jawa, Balaputradewa melanjutkan kejayaan Syailendra di tanah seberang.

Cinta dan Penyatuan Dinasti antara Pramodawardhani dan Rakai Pikatan

Pramodawardhani, sang putri mahkota dinasti Syailendra yang menganut Buddha Mahayana, menikah dengan Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya, penganut Hindu Siwa. Pernikahan mereka menjadi simbol penyatuan dua kekuatan besar yang sebelumnya bersaing di Jawa.

Pernikahan ini juga menandai masa keemasan toleransi beragama di tanah Jawa. Meskipun memiliki kepercayaan berbeda, pasangan ini tidak hanya hidup berdampingan, tapi juga berkontribusi dalam membangun warisan spiritual bagi dua agama besar ini.

Dalam prasasti Mantyasih (907 M), disebut bahwa Rakai Pikatan naik takhta sebagai raja keenam Medang dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku. Pramodawardhani menjadi permaisuri yang setia mendampingi.

Anak-Anak Mereka dan Warisan Politik

Pasangan ini dikaruniai dua putra yaitu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Rakai Kayuwangi kelak menjadi raja, menggantikan ayahnya dan meneruskan warisan kekuasaan dan perdamaian di tengah gejolak politik.

Lebih penting lagi, pernikahan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan menjadi pondasi penting bagi toleransi Hindu-Buddha. Mereka bahkan membangun kuil-kuil megah dari dua kepercayaan secara berdampingan.

Borobudur dan Prambanan sebagai Simbol Cinta dan Toleransi

Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia yang dibangun pada masa Samaratungga dan diresmikan oleh Pramodawardhani tahun 824 Masehi. Tak jauh dari situ, Prambanan, candi Hindu terbesar di Indonesia yang juga dikenal lewat legenda Roro Jonggrang dan 1000 candi dan dibangun oleh Rakai Pikatan berdasarkan prasasti Siwargrha (856 Masehi).

Kedua bangunan ini tidak hanya mencerminkan kebesaran arsitektur Nusantara, tapi juga wujud nyata dari semangat toleransi dan kerja sama antaragama. Menariknya, ada sebuah teori dari Dr. Anurak Sutham yang mengaitkan Borobudur dengan jejak Nabi Sulaiman dimana sebuah gagasan yang menambah sisi misteri dari bangunan kuno ini.

Kompleks Candi Plaosan juga dibangun pada masa mereka, mencampurkan arsitektur Hindu dan Buddha. Terletak di perbatasan Yogyakarta dan Klaten, kompleks ini menjadi saksi bisu betapa harmonisnya hidup antarumat beragama di bawah kepemimpinan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan.

Di Balik Harmoni, Agenda Politik?

Namun, beberapa sejarawan mencurigai motif tersembunyi di balik pernikahan ini. Ada dugaan bahwa Rakai Pikatan memiliki agenda untuk melemahkan pengaruh Syailendra dan menguatkan posisi dinasti Sanjaya.

Ia memindahkan pusat pemerintahan dari Mataram (Yogyakarta) ke Mamrati di Kedu, dekat Temanggung. Beberapa ahli bahkan percaya bahwa Prambanan dibangun untuk menyaingi Borobudur sebagai simbol kebangkitan Sanjaya.

Meski demikian, tidak tercatat dengan jelas kapan Pramodawardhani wafat. Prasasti Wantil hanya menyebut bahwa Rakai Pikatan turun takhta dan menjadi brahmana pada tahun 856 Masehi.

Akhir Era dan Awal Baru

Setelah masa kejayaan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan, kerajaan Medang dilanda pemberontakan. Pada akhirnya, pada masa Dyah Wawa, sang menantu yaitu Mpu Sindok yang memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur karena letusan Gunung Merapi yang dahsyat.

Perpindahan ini juga ditandai secara simbolis dalam Kitab Tantu Pagelaran lewat cerita pemindahan Gunung Mahameru. Mpu Sindok kemudian mendirikan dinasti baru bernama Isyana, menutup era Sanjaya dan Syailendra di Jawa Tengah, dan membuka bab baru sejarah kerajaan di timur, hingga lahirlah Majapahit.

Warisan Abadi dari Pramodawardhani dan Rakai Pikatan

Apa pun teori mengenai motif di balik pernikahan mereka, tidak dapat disangkal bahwa Pramodawardhani dan Rakai Pikatan meninggalkan warisan tak ternilai.

Borobudur, Prambanan, Plaosan, dan candi-candi lainnya bukan hanya situs wisata, tetapi monumen peradaban dan simbol toleransi yang seharusnya terus kita jaga.

Bahkan bisa dikatakan bahwa Pramodawardhani adalah ratu pertama Indonesia yang menikah beda agama. Hampir empat abad kemudian, "Ken Dedes" seorang wanita Buddha yang dinikahi oleh Ken Arok, raja Singhasari yang Hindu Siwa. Dari sinilah muncul sinkretisme Hindu-Buddha yang sangat kuat di era Singhasari hingga Majapahit, seperti tercermin di Candi Jawi.

Namun, dalam pernikahan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan, tidak ada penyatuan ajaran. Yang ada adalah penghormatan, kerja sama, dan perayaan perbedaan. Bentuk toleransi yang mungkin paling relevan untuk kita teladani hari ini.

Toleransi, Cinta, dan Warisan

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kisah Pramodawardhani dan Rakai Pikatan mengajarkan kita bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk pecah, melainkan peluang untuk menyatu dalam harmoni.

Mereka tidak membaurkan keyakinan, tetapi saling menghormati. Tidak menghapus identitas, tapi mengangkatnya bersama.

Dan mungkin, hanya mungkin... inilah bentuk toleransi yang paling tepat untuk bangsa Indonesia hari ini dan juga untuk dunia yang lebih damai, dan kehidupan yang lebih indah untuk semua makhluk.

Posting Komentar