Pada tahun 1998, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang parah. Gejolak politik akibat lengsernya Presiden Soeharto turut memperburuk keadaan. Di tengah situasi itu, Banyuwangi, sebuah kabupaten di ujung timur Jawa Timur, menjadi lokasi salah satu tragedi paling mengerikan dalam sejarah Indonesia: pembantaian dukun santet.
Awal Mula Isu Dukun Santet di Banyuwangi
Isu soal dukun santet mulai merebak pada awal Februari 1998. Ketakutan melanda masyarakat, apalagi setelah seorang warga bernama Sumarno Ade dari Kaligondo dibantai massa hanya karena tuduhan sebagai dukun santet—tanpa bukti sama sekali.
Pada 6 Februari, Bupati saat itu, Purnomo Sidik, memerintahkan pendataan terhadap para dukun dan paranormal dengan dalih perlindungan. Namun, daftar tersebut bocor dan justru dijadikan sebagai target pembantaian.
Teror Ninja Berjubah Hitam! Malam-Malam Mencekam
Selama bulan Juli hingga September 1998, suasana di desa-desa Banyuwangi semakin mencekam. Kelompok misterius berjubah hitam yang dijuluki Ninja meneror wilayah-wilayah terpencil. Rumah-rumah ditandai silang, listrik dipadamkan, dan malam-malam gelap menjadi saksi pembunuhan brutal.
Korban bukan hanya dukun santet. Banyak guru ngaji, kiai, tokoh masyarakat, bahkan pengasuh pesantren turut menjadi sasaran. Mayat ditemukan dalam kondisi mengenaskan – beberapa dipenggal, dengan kepala digantung di pohon sebagai bentuk teror psikologis.
Data Korban dan Reaksi Pemerintah
Menurut data resmi kepolisian, sedikitnya 85 orang tewas dalam tragedi ini. Namun versi Komnas HAM menyebutkan jumlah korban mencapai 309 jiwa, mayoritas dari wilayah Banyuwangi. Hingga kini, siapa dalang di balik kejadian tersebut masih misterius. Motifnya pun belum jelas: apakah murni karena isu santet, atau ada permainan politik?
Suasana Banyuwangi Saat Itu, Ketakutan Kolektif
Warga Banyuwangi mengenang masa itu sebagai periode paling menakutkan dalam hidup mereka. Menjelang magrib, penjagaan dilakukan di tiap sudut desa. Orang-orang berjaga semalaman, tak ada yang berani tidur sendiri. Rasa aman lenyap. Ketakutan merajalela.
Yang lebih menyedihkan, banyak korban justru adalah tokoh agama. Guru ngaji dan kiai yang aktif mengajar malah dituduh sebagai dukun. Masyarakat dibenturkan satu sama lain lewat isu-isu yang terus dipelintir.
Apakah Banyuwangi Benar-benar Kota Santet?
Setelah tragedi itu, Banyuwangi sering dijuluki sebagai kota santet. Stigma ini terus menempel hingga sekarang, meski banyak pihak menilai itu tidak adil. Nyatanya, korban terbesar dalam tragedi ini justru adalah warga biasa dan tokoh agama.
Tragedi ini juga membuka luka soal persekusi tanpa bukti, main hakim sendiri, dan bahaya penyebaran isu yang tidak terkendali.
Luka Lama yang Masih Terasa
Hingga saat ini, tragedi pembantaian dukun santet di Banyuwangi 1998 masih menjadi salah satu peristiwa paling misterius dan kelam dalam sejarah Indonesia. Banyak pertanyaan belum terjawab. Apakah ini murni ketakutan masyarakat? Atau ada pihak-pihak tertentu yang memainkan isu ini demi kepentingan politik?
Yang jelas, sejarah ini seharusnya tak dilupakan. Kita perlu belajar dari masa lalu agar peristiwa serupa tak terulang kembali.
Posting Komentar