Kalau kamu pernah lewat di sekitar pabrik gula di Jawa saat musim giling tiba, mungkin kamu pernah lihat iring-iringan tebu yang dihias seperti pengantin. Ada sesaji, musik, bahkan kadang diiringi arak-arakan yang cukup meriah. Bukan sekedar hiasan atau seremoni biasa, ini adalah bagian dari tradisi panjang yang disebut selamatan giling. Sebuah warisan budaya Jawa yang masih dilestarikan hingga sekarang.
Cembrengan alias Cembengan, Nama Lokal yang Sarat Makna
Masyarakat di sekitar pabrik gula peninggalan kolonial menyebut tradisi ini sebagai cembrengan atau cembengan. Tapi secara nasional, orang lebih kenal dengan istilah selamatan giling. Menurut Pak Sentot Suparno, seorang pensiunan karyawan pabrik gula yang sudah bekerja sejak tahun 1990 hingga 2021, selamatan ini bukan sekedar ritual, tapi juga simbol persiapan dan harapan besar.
"Ini soal keyakinan dan kesiapan," ujar Pak Sentot dalam sebuah wawancara dengan kanal YouTube Infipop. "Musim giling itu puncak segalanya. Kalau gagal, ya gagal semua tahun itu."
Makanya, sebelum mesin-mesin mulai menderu dan tebu digiling jadi gula, diadakan upacara yang melibatkan banyak pihak: karyawan, masyarakat sekitar, petani tebu, bahkan lintas agama. Semua berkumpul dengan satu niat: memohon kelancaran, keselamatan, dan hasil panen yang melimpah.
Kenapa Harus Ada Manten Tebu?
Nah, inilah bagian yang paling ikonik: manten tebu alias tebu pengantin. Tebu ini dipilih dengan cara khusus, dari kebun milik pabrik dan juga petani. Biasanya satu mewakili "perempuan" dan satu lagi "laki-laki". Setelah dipilih, tebu ini dihias, dirias seperti pengantin, bahkan disemayamkan semalam penuh sebelum diarak ke pabrik.
"Pengambilan tebunya enggak bisa sembarangan. Harus dihitung harinya, dilihat tempatnya, mana yang dianggap paling bagus," kata Pak Sentot. Ini bukan mitos kosong, tapi bagian dari filosofi kolaborasi antara petani dan pabrik. Dua pihak yang saling membutuhkan, diikat dalam simbol pernikahan.
Dari Doa Lintas Agama Sampai Kepala Kerbau
Yang menarik, selamatan ini bukan cuma soal budaya Jawa atau tradisi Kejawen saja. Unsur keagamaannya juga kuat. Malam sebelum puncak acara, diadakan doa bersama lintas agama. Yang Muslim berdoa di satu tempat, yang Kristen di tempat lain, begitu juga dengan penganut agama lainnya.
Dulu, ada juga tradisi menanam kepala kerbau atau sapi sebagai bagian dari permohonan kepada bumi dan alam agar tidak "menolak" proses giling. Saat ini, tradisi itu masih ada di beberapa tempat, meski dilakukan secara simbolik.
Pak Sentot menceritakan bahwa ketika salah satu bagian dari tradisi ini ditinggalkan, sering kali ada saja kejadian tak diinginkan yang terjadi.
"Kadang ada alat rusak, atau malah ada kecelakaan. Orang-orang bilang, 'Lha itu, kemarin enggak selamatan sih.' Memang enggak masuk akal, tapi kejadian-kejadian kayak gitu bikin orang makin percaya kalau tradisi ini enggak boleh dilupakan."
Pasaran Jawa dan Penentuan Hari Giling
Di beberapa pabrik, seperti di PG Gondang Winagoen, hari pelaksanaan selamatan giling ditentukan dengan sistem pasaran Jawa, misalnya harus dilakukan pada Jumat Legi atau Selasa Legi. Ini bagian dari kepercayaan lokal bahwa hari-hari tertentu punya energi atau "aura" yang baik untuk memulai sesuatu.
Antara Kepercayaan dan Kehormatan Tradisi
Buat orang Jawa, selamatan itu bukan sekedar seremonial, tapi wujud syukur dan permohonan perlindungan. Dalam konteks pabrik gula, selamatan giling dan manten tebu adalah bentuk komitmen bersama. Bukan karena percaya takhayul semata, tapi karena ingin memulai musim giling dengan penuh kesiapan dan rasa hormat terhadap alam, masyarakat, dan Sang Pencipta.
Seperti yang dikatakan Pak Sentot Suparno di akhir wawancaranya, "Bukan karena kita percaya mistik atau semacamnya. Ini cuma bentuk keyakinan dan penghormatan aja. Semacam semangat yang dijaga bareng-bareng. Udah kayak harga mati."
Tradisi yang Tetap Relevan
Di tengah modernisasi dan mesin-mesin canggih, tradisi seperti manten tebu dan selamatan giling tetap punya tempat. Ia bukan sekedar nostalgia atau warisan masa lalu, tapi juga bagian dari identitas dan jati diri masyarakat di sekitar pabrik gula. Sebuah cara untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Maha Kuasa.
Posting Komentar